Bahan Bakar Etanol

Sabtu, 20 Mei 2023
Bahan Bakar Etanol

Etanol adalah senyawa kimia yang juga dikenal dengan sebutan etil alkohol atau alkohol. Senyawa ini memiliki rumus kimia C2H5OH dan merupakan salah satu jenis alkohol yang paling umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Etanol biasanya dihasilkan melalui proses fermentasi gula dari bahan tanaman seperti jagung, tebu, kentang, ubi jalar, atau jerami. Selain itu, etanol juga dapat diproduksi melalui proses kimia dengan menggunakan gas sintetis sebagai bahan baku.

Etanol banyak digunakan dalam berbagai aplikasi, termasuk sebagai bahan bakar alternatif untuk kendaraan bermotor, bahan baku dalam pembuatan kosmetik, farmasi, dan juga sebagai bahan pelarut dalam industri.

Sebagai bahan bakar alternatif, etanol umumnya digunakan sebagai campuran dengan bahan bakar fosil seperti bensin dan diesel pada beragam jenis mesin, dengan perbandingan yang bervariasi tergantung pada kebijakan dan spesifikasi kendaraan di setiap negara.

Untuk dapat menggerakkan piston mesin, digunakan panas yang tercipta dari pembakaran etanol, dan dapat dikatakan bahwa sinar matahari juga dipergunakan untuk dapat mengoperasikan suatu mesin.

Tidak hanya glukosa yang dapat difermentasi. Gula lain seperti fruktosa juga bisa dipergunakan untuk fermentasi. 3 jenis gula juga dapat difermentasi dengan cara memecahnya melalui hidrolisis menjadi molekul glukosa atau fruktosa. Pati dan selulosa adalah molekul yang terdiri dari ikatan glukosa. Sukrosa (atau gula tebu) adalah molekul glukosa yang terikat pada molekul fruktosa. Energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan fruktosa berasal dari metabolisme glukosa yang diperoleh dari proses fotosintesis (yang membutuhkan sinar matahari). Jadi, sinar matahari juga menyuplai energi yang dihasilkan oleh fermentasi beragam molekul tesebut.

Bahan bakar etanol digunakan sebagai alternatif yang dianggap lebih ramah terhadap lingkungan, karena bahan bakar etanol menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar fosil, serta dapat membantu minimalisir ketergantungan terhadap sumber energi fosil yang sangat terbatas.

Bahan bakar etanol dianggap lebih ramah lingkungan karena menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar fosil, serta dapat membantu minimalisir ketergantungan terhadap sumber energi fosil yang sangat terbatas.

Adapun sejarah dari bahan bakar etanol di dunia telah dimulai sejak abad ke-19, yaitu ketika etanol digunakan sebagai bahan bakar lampu minyak. Kemudian, secara singkat, berikut ini merupakan beberapa momen penting yang ada dalam sejarah bahan bakar etanol, seperti:

  1. Abad ke-19: Etanol digunakan sebagai bahan bakar lampu minyak. Pada masa ini, etanol dihasilkan dari hasil fermentasi bahan tanaman seperti tebu dan jagung.

  2. Tahun 1860: Nicolas-Joseph Cugnot, seorang insinyur Prancis, mengembangkan mobil uap yang dapat berjalan dengan bahan bakar etanol.

  3. Tahun 1908: Model T, mobil buatan Ford, diluncurkan dengan kemampuan untuk menggunakan bahan bakar etanol maupun bensin.

  4. Tahun 1920-an: Prohibisi minuman beralkohol menyebabkan produksi etanol beralih ke industri bahan bakar. Pada masa ini, etanol digunakan sebagai bahan bakar mobil dan motor.

  5. Tahun 1970-an: Krisis minyak global memicu pengembangan bahan bakar alternatif seperti etanol. Pemerintah Amerika Serikat memberikan insentif untuk meningkatkan penggunaan etanol sebagai bahan bakar.

  6. Tahun 2005: Pemerintah Amerika Serikat meluncurkan program Renewable Fuel Standard (RFS) yang menargetkan penggunaan bahan bakar nabati, termasuk etanol, dalam jumlah yang lebih besar.

  7. Saat ini: Etanol banyak digunakan sebagai bahan bakar campuran dengan bensin di seluruh dunia, dengan persentase campuran yang bervariasi tergantung pada kebijakan pemerintah dan spesifikasi kendaraan.

Secara keseluruhan, sejarah bahan bakar etanol menunjukkan bahwa penggunaannya sebagai bahan bakar telah mengalami perubahan dan perkembangan yang signifikan seiring dengan perubahan kebutuhan dan teknologi.

Terdapat dua negara yang sangat sukses dalam penggunaan bahan bakar etanol, kedua negara tersebut yaitu Amerika Serikat dan Brazil. Di mana Amerika Serikat dan Brazil.sukses menerapkan etanol sebagai bagian pada komponen yang wajib ada di dalam campuran bahan bakar mesin mereka.

Amerika Serikat dan Brazil juga merupakan beberapa negara dengan nilai produksi etanol paling tinggi di dunia. Di mana sebagai contoh, sepanjang periode di tahun 2018, Amerika Serikat berhasil memproduksi setidaknya 16.1 miliar galon etanol, sedangkan untuk Brazil berada di posisi kedua yaitu dengan jumlah produksi etanol sebanyak 7.95 miliar galon.

Etanol banyak digunakan di Brasil dan Amerika Serikat. Kedua negara ini menghasilkan 88% dari total bahan bakar etanol yang diproduksi di dunia. Sebagian besar mobil di Amerika Serikat saat ini dapat berjalan dengan bahan bakar yang mengandung etanol hingga 10%, dan penggunaan bensin etanol 10% bahkan diamanatkan di beberapa kota dan negara bagian AS. Dimulai tahun 1976, pemerintah dari Brasil telah mengamanatkan untuk menggunakan bensin

yang dicampur dengan etanol, dan kemudian pada tahun 2007 campurannya berkisar sekitar 25% etanol dan 75 bensin (E25). Pada bulan Desember 2010, Brasil memiliki 12 juta kendaraan berbahan bakar fleksibel dan truk ringan serta lebih dari 500.000 sepeda motor yang dapat menggunakan etanol murni (E100).

Saat ini, mayoritas dari jenis kendaraan di Brazil adalah merupakan flexible-fuel vehicle yang dapat mempergunakan bahan bakar bioetanol. Hal tersebut dapat terjadi karena sejak tahun 1976, pemerintahan Brazil telah menjalankan kebijakan yaitu etanol diharuskan dipergunakan sebagai campuran dari bahan bakar kendaraan dengan kadar sebesar 22 persen etanol dan 78 persen bahan bakar fossil yang kemudian disebut dengan E22. Dan kemudian dimulai sejak tahun 2015, hingga saat ini, negara Brazil sudah sukses menggunakan bioetanol jenis E25.

Adapun pada dasarnya, penerapan bahan bakar etanol memiliki manfaat sebagai alternatif bahan bakar fosil, di antaranya yaitu seperti:

  1. Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca: Etanol merupakan bahan bakar yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca karena dapat menghasilkan kurang karbon dioksida (CO2) dibandingkan bahan bakar fosil.

  2. Mengurangi Ketergantungan pada Bahan Bakar Fosil: Penggunaan bahan bakar etanol dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, yang merupakan sumber energi yang terbatas dan semakin mahal.

  3. Lebih Ramah Lingkungan: Bahan bakar etanol dapat membantu mengurangi polusi udara dan air, serta dapat mengurangi dampak lingkungan dari kegiatan produksi dan pengolahan bahan bakar fosil.

  4. Dapat Digunakan pada Kendaraan yang Sudah Ada: Bahan bakar etanol dapat dicampur dengan bahan bakar fosil dan digunakan pada kendaraan yang sudah ada tanpa perlu melakukan modifikasi yang signifikan.

  5. Mendorong Pengembangan Industri Lokal: Produksi etanol dapat menjadi industri yang berkembang di daerah tertentu, membantu mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengembangan teknologi.

  6. Dapat Diperoleh dari Sumber Daya Lokal: Etanol dapat diproduksi dari sumber daya lokal seperti jagung, singkong, tebu, atau bahan tanaman lainnya yang dapat tumbuh di daerah tertentu, sehingga dapat meningkatkan keberlanjutan dan ketahanan pangan di daerah tersebut.

Secara keseluruhan, penggunaan bahan bakar etanol sebagai alternatif bahan bakar fosil memiliki manfaat yang signifikan bagi lingkungan, ketersediaan energi, dan perekonomian. Namun, perlu dicatat bahwa penggunaan bahan bakar etanol juga memiliki kelemahan dan tantangan, seperti biaya produksi yang masih lebih tinggi dan ketergantungan pada sumber daya tanaman sebagai bahan baku.

Selain keberhasilan, penerapan bahan bakar etanol juga mengalami halangan di beberapa negara, seperti yang terjadi pada Tiongkok. Di mana pemerintah Tiongkok telah merilis kebijakan dalam negerinya yang mengharuskan dipergunakannya etanol di seluruh wilayah Tiongkok pada Januari tahun 2020, namun hal tersebut terkendala oleh beragam macam faktor.

Beberapa alasan yang menghambat penerapan bahan bakar etanol di Tiongkok adalah seperti adanya penolakan dari pengusaha local Tiongkok, ongkos produksi etanol yang relatif tinggi, serta adanya keterbatasan pasokan dari bahan baku.

Sedangkan di Indonesia, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau KESDM, di tahun 2015 sudah merilis Peraturan Menteri (Permen) ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) Nomor 12 yang di dalamnya menjelaskan mengenai penggunaan dari bioetanol E5 yang diwajibkan dimulai pada tahun 2020 dengan formulasi sebesar 5 persen dari etanol dan 95 persen dari bensin dan kemudian meningkat menjadi E20 di tahun 2025 nantinya.

Namun dalam pelakasanaan dari rencana Permen tersebut menghadapi beragam kendala seperti yang juga dialami oleh pemerintahan Tiongkok. Beragam kendala tersebut bahkan menjadikan pemerintah Indonesia akhirnya merevisi penerapan dari bioetanol dengan cara menurunkan kandungan etanol yang kemudian menjadi 2%, yaitu setelah dilakukan serangkaian uji coba termasuk bersama dengan Pertamina, di mana penerapan jenis E2 pun masih jauh dari harapan, yang dikarenakan terkendala ongkos produksi yang relatif masih tinggi, yang kemudian menjadikan kehadiran dari etanol kurang kompetitif untuk dijadikan sebagai bahan bakar alternatif untuk kendaraan. Adapun dalam upaya untuk mewujudkan harapan pemerintah, Dewan Energi Nasional (DEN) berharap akan adanya kerja sama terintegrasi dari antar Kementerian terkait, tak terkecuali termasuk dengan industri otomotif.

Adapun pada tahun 2022 di Indonesia, terdapat program bioetanol dari bahan baku tebu untuk ketahanan energi diharapkan menjadi solusi untuk meningkatkan produksi bioetanol nasional dari 40.000 kiloliter pada tahun 2022 menjadi 1,2 juta kiloliter pada tahun 2030 dan menjadi sumber potensial bahan bakar campuran jenis esens. Hal ini berdasarkan studi yang dilakukan di Brazil, energi yang dihasilkan dari 1 ton tebu setara dengan 1.2 barel minyak mentah.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bekerjasama dengan tim peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB), didukung United States Grains Council (USGC), berhasil menyusun roadmap strategis untuk mempercepat penerapan bioetanol di Indonesia.

Tujuan jangka pendek dari roadmap yang direncanakan dimulai dengan pengenalan campuran etanol sebesar 5% atau E5 secara terbatas di provinsi DKI Jakarta dan Surabaya. Campuran etanol E5 dapat ditambahkan ke dalam bahan bakar Petralite untuk meningkatkan kualitas bensin RON menjadi setara dengan Pertamax.

Pakar bioenergi ITB, Tatang Hernas Soerawidjaja menyampaikan bahwa mencampurkan bioetanol bisa menjadi solusi untuk dapat membantu mengurangi tekanan impor BBM yang telah membebani neraca perdagangan Indonesia.

Jika RI berhasil menggunakan program biodiesel untuk menggantikan impor solar dengan biodiesel, maka Indonesia akan dapat mengurangi tekanan impor bensin yang jauh lebih besar dari solar.

Manfaat lain dari bioetanol adalah kemampuannya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 43%, termasuk CO2 partikulat, NOx dan PM2.5, sekaligus meningkatkan bauran energi terbarukan Indonesia yang diharapkan mencapai 23% pada tahun 2025.

Penurunan emisi dapat terjadi karena etanol merupakan bensin dengan nilai oktan (RON) 128, sehingga pencampurannya dengan bensin akan meningkatkan kadar oktan bahan bakar dan kualitas pembakarannya.

Baca Artikel Lainnya : Cara membuat Bio Solar

Campuran etanol E5 dapat ditambahkan ke dalam bahan bakar Petralite untuk meningkatkan kualitas bensin RON menjadi setara dengan Pertamax. Hasil campuran inilah yang kemudian menjadi produk Pertamax E-5.

Meskipun potensi bioetanol sangat besar, penerapannya sebagai campuran bensin masih menjadi tantangan, terutama mengingat rendahnya produksi bioetanol di Indonesia.

Laporan ITB juga merekomendasikan penyesuaian kebijakan untuk memulai penerapan bioetanol di Indonesia, khususnya penetapan harga, pajak dan subsidi, serta peluncuran terbatas di Jawa Timur dan Jakarta sebagai langkah awal dan membentuk Badan Layanan Umum (BLU) seperti BPDPKS untuk mengembangkan bioetanol. Pemerintah juga sangat disarankan untuk membentuk badan layanan publik yang didedikasikan untuk bioetanol, seperti halnya BPDBKS Sawit, yang bertanggung jawab untuk meningkatkan usaha dan juga untuk dapat meningkatkan infrastruktur produksi bioetanol.

Terdapat riset yang dilakukan ITB yang menunjukkan bahwa proses produksi 150 juta liter bioetanol berbahan dasar gula per tahun dapat menciptakan sekitar 83.000 tenaga kerja baik di sektor perkebunan maupun juga di fasilitas molase dan etanol.

Dalam jangka menengah, pemerintah dapat meningkatkan campuran bio-alkohol atau etanol menjadi E10 dan juga dapat memperluas program bioetanol menuju wilayah Jawa khususnya, karena memiliki konsumsi bahan bakar paling tinggi di Indonesia. Dengan peluncuran bertahap, diharapkan Indonesia akan dapat melakukan penerapan campuran E-15 untuk semua wilayah di Indonesia pada tahun 2031.

Di tahun 2022, jumlah total produksi bahan bakar bioetanol hanya berkisar 40.000 KL per tahun, sangat jauh dari kebutuhan seharusnya sekitar 696.000 KL per tahun sebagai tahapan awal penggelaran di Jawa Timur dan Jakarta.

Campuran bioetanol telah dilakukan pengujian lapangan dengan kandungan 2% (E2) di Jawa Timur pada tahun 2018, namun hasilnya menunjukkan bahwa harga dari bahan bakar campuran bioetanol masih sedikit lebih tinggi dari harga bahan bakar non-alkohol. Namun, dengan kenaikan harga bahan bakar dan meningkatkan upaya pentingnya peningkatan ketahanan energi, maka penggunaan kembali dari bahan bakar yang dicampur dengan etanol akan kembali menjadi masalah strategis.

Di akhir, sebagai alternatif bahan bakar fosil, bahan bakar etanol memiliki potensi untuk memberikan manfaat yang signifikan bagi lingkungan, ketersediaan energi, dan perekonomian. Etanol dapat mengurangi emisi gas rumah kaca, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar

fosil, dan membantu mengurangi polusi udara dan air. Selain itu, produksi etanol dapat menjadi industri yang berkembang di daerah tertentu dan dapat meningkatkan keberlanjutan dan ketahanan pangan di daerah tersebut.

Namun, penggunaan bahan bakar etanol juga memiliki kelemahan dan tantangan, seperti biaya produksi yang masih lebih tinggi dan ketergantungan pada sumber daya tanaman sebagai bahan baku. Selain itu, masih perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan infrastruktur dan pengembangan teknologi dalam mendukung penggunaan bahan bakar etanol.

Baca Artikel Lainnya : Penegrtian Biodiesel

Meskipun demikian, dengan semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya penggunaan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan, penggunaan bahan bakar etanol kemungkinan akan terus berkembang di masa depan. Dengan demikian, perlu adanya dukungan dari pemerintah dan masyarakat dalam meningkatkan penggunaan bahan bakar etanol sebagai bagian dari solusi untuk mengatasi permasalahan lingkungan dan energi di masa depan. 


Ikuti Sosial Media Kami One Solution Pertamina

Linkedin   Pertamina 1 Solution

Instagram : Pertamina1solution

Facebook  Pertamina1solution