Biosolar merupakan termasuk ke dalam jenis bahan bakar alternatif yang terbuat atau tercipta dari campuran bahan bakar fosil yakni bahan bakar solar (diesel) dengan bahan jenis organik atau disebut juga sebagai biomassa, seperti minyak kelapa sawit, limbah tumbuhan, atau sampah organik.
Proses pembuatan dari bahan bakar biosolar melibatkan pengolahan bahan organik tersebut menjadi biofuel yang dapat dicampur dengan bahan bakar fosil. Campuran ini biasanya disebut juga dengan biodiesel atau biofuel. Biosolar ini dapat digunakan pada mesin-mesin yang biasa menggunakan bahan bakar fosil seperti diesel.
Pembuatan biosolar atau biodiesel tidaklah baru, karena sejarahnya dapat ditelusuri kembali ke awal abad ke-19, ketika beberapa orang mencoba membuat bahan bakar alternatif dari bahan-bahan organik, seperti minyak kacang tanah, minyak biji kapuk, atau minyak kacang kedelai. Namun, pada saat itu produksinya masih sangat terbatas dan tidak memiliki pengaruh besar terhadap pasar bahan bakar.
Pada tahun 1937, sebuah studi yang dilakukan oleh para peneliti Prancis menunjukkan bahwa proses transesterifikasi dapat digunakan untuk membuat ester metil dari minyak sayur, yang dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif. Namun, karena sumber daya fosil masih melimpah pada waktu itu, penggunaan bahan bakar alternatif tidak dianggap sebagai prioritas.
Baru pada tahun 1970-an, dengan krisis energi global yang mengakibatkan kenaikan harga minyak bumi dan meningkatnya kekhawatiran tentang keberlanjutan sumber daya energi, pengembangan bahan bakar alternatif semakin dianggap penting. Seiring dengan itu, beberapa negara seperti Jerman dan Amerika Serikat mulai melakukan penelitian dan pengembangan pada biodiesel dan biosolar.
Pada awal 1990-an, biosolar mulai dianggap sebagai bahan bakar alternatif yang menjanjikan, terutama di Eropa, yang mengalami krisis lingkungan akibat tingginya polusi udara dari kendaraan bermotor. Sejak saat itu, produksi dan penggunaan biosolar semakin meningkat di seluruh dunia, meskipun masih dalam skala yang relatif kecil dibandingkan dengan bahan bakar fosil.
Baca Artikel Lainnya : Bahan Bakar Bio
Penggunaan dari bahan bakar biosolar atau biodiesel telah menyebar ke seluruh dunia dalam beberapa dekade terakhir. Beberapa negara di Eropa, seperti Jerman, Perancis, dan Italia, menjadi pelopor dalam penggunaan biosolar sebagai bahan bakar alternatif pada transportasi. Pada tahun 2018, Uni Eropa menetapkan target untuk meningkatkan penggunaan bahan bakar alternatif, termasuk biosolar, hingga 14% dari total konsumsi bahan bakar pada sektor transportasi pada tahun 2030.
Di Amerika Serikat, penggunaan dari bahan bakar biodiesel juga semakin meningkat. Yaitu, di mana pada tahun 2020, Amerika Serikat menghasilkan lebih dari 2 miliar galon atau sekitar 7,6 miliar liter bahan bakar biodiesel, dan telah menetapkan target untuk terus meningkatkan penggunaan dari bahan bakar biodiesel hingga 6 miliar galon pada tahun 2030.
Kemudian, negara di Asia juga mulai tertarik untuk mengembangkan penggunaan biosolar, terutama karena meningkatnya kesadaran tentang pentingnya keberlanjutan lingkungan dan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Indonesia, sebagai salah satu produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, juga telah memulai pengembangan biosolar dari limbah kelapa sawit.
Meskipun penggunaan biosolar masih terbatas, pengembangan teknologi dan peningkatan kesadaran tentang keberlanjutan energi dapat membantu mempercepat penyebaran penggunaan bahan bakar alternatif ini di seluruh dunia.
Adapun latar belakang dari tercipta dan menyebarnya biosolar di seluruh dunia, tidak terlepas dari banyaknya manfaat yang didapatkan dari penggunaan biosolar, di antaranya yaitu seperti:
Mengurangi emisi gas rumah kaca: Biosolar memiliki emisi gas rumah kaca yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar fosil seperti diesel, karena biosolar terbuat dari campuran bahan organik atau biomassa yang dapat dihasilkan melalui proses fotosintesis. Dengan mengurangi emisi gas rumah kaca, penggunaan biosolar dapat membantu mengurangi dampak perubahan iklim.
Mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil: Biosolar dapat membantu mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang semakin langka dan mahal. Dalam jangka panjang, penggunaan biosolar dapat membantu menciptakan pasar bahan bakar alternatif yang lebih berkelanjutan.
Mengurangi polusi udara: Biosolar memiliki emisi yang lebih rendah dibandingkan dengan diesel, sehingga penggunaan biosolar pada kendaraan bermotor dapat membantu mengurangi polusi udara di kota-kota yang padat penduduk.
Meningkatkan kesejahteraan ekonomi: Produksi biosolar dapat memberikan peluang ekonomi bagi petani dan produsen biomassa, serta membuka lapangan kerja baru di sektor energi terbarukan.
Meningkatkan diversifikasi energi: Penggunaan biosolar dapat membantu meningkatkan diversifikasi energi, sehingga negara-negara tidak hanya mengandalkan satu jenis bahan bakar fosil saja.
Dari sudut pandang ekologis, biosolar dapat memproduksi emisi gas buang yang sangat baik. Di mana hal tersebut dikarenakan bio biosolar memiliki beberapa keunggulan seperti tidak mengandung belerang, memiliki angka asap yang rendah dan angka cetane yang lebih tinggi untuk pembakaran yang lebih sempurna (light burn). Selain itu, biosolar juga sangat kental, memberikan sifat pelumasan yang lebih baik yang memperpanjang usia mesin, dan dapat juga terurai secara hayati.
Meskipun penggunaan biosolar memiliki manfaat, namun juga ada beberapa tantangan dalam produksi dan penggunaannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut untuk memastikan bahwa penggunaan biosolar dapat dilakukan secara berkelanjutan dan efektif.
Tantangan sebagaimana disebutkan sebelumnya bisa berupa beberapa hal, di antaranya adalah sebagai berikut:
Biaya produksi yang tinggi: Produksi biosolar masih lebih mahal dibandingkan dengan bahan bakar fosil, sehingga membuat harga jual biosolar lebih mahal. Biaya produksi biosolar terutama disebabkan oleh biaya bahan baku, proses produksi yang rumit, dan teknologi produksi yang masih belum matang.
Keterbatasan bahan baku: Produksi biosolar memerlukan bahan baku organik atau biomassa, seperti minyak kelapa sawit, kedelai, dan jarak pagar. Keterbatasan pasokan bahan baku organik dan biomassa dapat menjadi hambatan dalam produksi biosolar dalam jumlah besar.
Kendala teknologi: Meskipun teknologi produksi biosolar terus berkembang, namun masih ada kendala dalam memproduksi biosolar dalam skala besar. Teknologi produksi biosolar juga memerlukan pengembangan yang lebih lanjut untuk meningkatkan efisiensi produksi dan mengurangi biaya produksi.
Tantangan regulasi: Regulasi yang tidak jelas atau tidak konsisten dapat menjadi kendala dalam produksi dan penggunaan biosolar. Beberapa negara memerlukan regulasi khusus untuk biosolar, sedangkan negara lain masih memperlakukan biosolar seperti bahan bakar fosil.
Tantangan infrastruktur: Penggunaan biosolar juga memerlukan infrastruktur yang memadai, seperti fasilitas pengolahan dan distribusi, yang masih terbatas di beberapa negara.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, diperlukan upaya kolaborasi antara pemerintah, industri, dan akademisi dalam pengembangan teknologi produksi biosolar yang lebih efisien dan murah, peningkatan pasokan bahan baku, serta pembangunan infrastruktur yang memadai.
Adapun biosolar adalah bahan bakar ramah lingkungan bila dibandingkan dengan bahan bakar solar yang sebelumnya telah ada, namun kedua jenis bahan bakar diesel tersebut memiliki beberapa perbedaan, di antara perbedaan dari kedua jenis bahan bakar diesel tersebut yakni seperti sebagai berikut:
Jumlah energi: Energi yang dihasilkan oleh kedua bahan bakar diesel tersebut sangat berbeda. Hal ini tentu saja karena sifat bahan baku yang berbeda, serta proses pembuatannya yang berbeda (seperti lama waktu proses). Oleh karena itu, jumlah energi yang dihasilkan oleh bahan bakar biosolar 11% lebih sedikit bila dibandingkan dengan solar konvensional.
Residu sulfur: Residu sulfur yang ada pada sistem pengapian kendaraan menempel pada karbon dioksida yang dilepaskan. Pada kategori residu dari sulfur, biosolar memiliki keunggulan dibanding solar konvensional, sehingga biosolar lebih ramah bagi lingkungan.
Proses oksidasi: Siklus proses oksidasi yang dimaksud merupakan kemampuan bahan bakar untuk menahan gangguan oksidatif seperti panas, udara, cahaya dan logam. Di mana proses oksidasi yang terjadi pada bahan bakar biosolar tidak separah solar, sehingga terdapat risiko terciptanya plak pada mesin apabila menggunakan bahan bakar biosolar dibandingkan dengan solar biasa.
Kemudian, untuk di negara Indonesia sendiri, pengembangan biosolar dimulai yakni di tahun 1996 oleh Lemigas dan juga PT. Pertamina (Persero). Kedua pihak mencoba mencampurkan biosolar dan solar dengan perbandingan 30:70.
Campuran ini terdiri dari 30% minyak dari tumbuh-tumbuhan atau sayuran dan 70% solar/solar yang terbuat dari minyak bumi fosil. Ini juga mengakibatkan produk biosolar diawali dengan kata "bio" pada awal katanya.
Baca Artikel Lainnya : Pengertian Viskositas
Hingga saat ini, campuran minyak nabati yang diperoleh dari minyak sawit telah digunakan sebagai campuran pada biosolar di Indonesia. Di mana minyak sawit lebih dipilih karena nilai energinya yang tinggi. Oleh karena itu, minyak nabati yang berasal dari minyak sawit ini dianggap sebagai biofuel yang sangat ekonomis untuk solar/solar, minyak berbahan dasar fosil.
Dalam pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN), termasuk biodiesel sebagai bentuk produknya, rasio neraca energi bersih menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan jenis sumber BBN.
Rasio neraca energi bersih adalah rasio produksi energi yang dikonsumsi dibagi dengan proporsi bahan bakar fosil yang dibutuhkan untuk menghasilkan energi.
Semakin tinggi rasio keseimbangan energi bersih jenis tanaman, semakin rendah penggunaan bahan bakar fosil dalam pengolahan biofuel. Akibatnya, efek gas rumah kaca juga lebih rendah.
Beberapa tanaman yang paling banyak dikembangkan sebagai sumber biofuel sejauh ini adalah tebu (tetes), ubi kayu, ubi dan biji-bijian (jagung, gandum, sorgum, beras).
Selain itu, terdapat pula berbagai jenis limbah yang dapat diolah menjadi biofuel, antara lain limbah pertanian seperti batang gabah, sekam padi, sekam singkong, dan ampas; limbah dari pabrik kelapa sawit; limbah hutan, yakni seperti. serpihan kayu, serbuk gergaji; sampah organik; dan juga limbah yang berasal dari perkotaan dan biomassa pada umumnya yaitu seperti daun, batang dan lain-lain.
Adapun BBN sebagaimana diatur oleh pemerintah Indonesia adalah sebagai berikut ini, yakni seperti:
B20: Adalah program pemerintah yang melibatkan pencampuran 20% biodiesel dengan 80% solar untuk menghasilkan produk Biosolar B20. Program ini berlaku mulai Januari 2016 sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Nomor 12 pada tahun 2015.
B30: Merupakan program pemerintah yang mensyaratkan pencampuran 30% biodiesel dan 70% solar untuk menghasilkan produk Biosolar B30. Program ini rencananya dilaksanakan mulai Januari 2020 sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Nomor 12 pada tahun 2015.
B100: Adalah sebutan untuk Biodiesel, yaitu bahan bakar nabati untuk mesin diesel/aplikasi mesin berupa Fatty Acid Methyl Ester (FAME) yang dihasilkan dari minyak nabati atau lemak hewani melalui proses esterifikasi/transesterifikasi. Proses transesterifikasi adalah proses yang menghilangkan alkohol dari ester tetapi menggunakan alkohol atau metanol sebagai katalis (zat yang mempercepat laju reaksi).
Selain biodiesel, pemerintah juga mengatur jenis BBN lainnya, yaitu bioetanol yang dikenal dengan E100, dan minyak nabati murni atau O100.
Biodiesel dan bioetanol dicampur dengan bahan bakar fosil hingga persentase tertentu untuk digunakan. Biodiesel dicampur dengan solar, sedangkan bioethanol dicampur dengan bensin.
Hingga saat ini, pemerintah juga sedang giat menggalakkan pengembangan biofuel biohidrokarbon dengan sifat yang setara atau bahkan lebih baik dari hidrokarbon/bahan bakar fosil. Biofuel hidrokarbon ramah lingkungan dapat digunakan langsung (input) sebagai pengganti bahan bakar fosil tanpa perlu modifikasi mesin kendaraan. Biofuel biohidrokarbon ini dapat dibagi menjadi green gasoline, green diesel dan juga bioavtur.
Tujuan dari pelaksanaan program wajib BBN di Indonesia, antara lain adalah sebagai berikut ini yaitu:
Memenuhi komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% hasil BAU pada tahun 2030;
Meningkatkan ketahanan dan juga kemandirian energi;
Menstabilkan nilai harga CPO;
Nilai tambah industri hilir kelapa sawit;
Sasarannya adalah mencapai bagian energi terbarukan sebesar 23 persen dari total bauran energi pada tahun 2025;
Pengurangan konsumsi BBM dan impor;
Pengurangan gas rumah kaca; Dan
Perlu untuk memperbaiki defisit perdagangan.
Sebagai warga negara Indonesia, kita boleh bangga bahwa Indonesia ialah negara pertama yang berhasil memperkenalkan B20 yang bahan baku utamanya berasal dari kelapa sawit. Hingga Mei 2018, negara bagian yang telah berhasil memperkenalkan B20 antara lain Minnesota, AS. Kolombia hanya di tahap B10 sejak 2011 dan Malaysia hanya di tahap B10 di 2019.
Pada tahun 2021, permintaan dari bahan bakar biodiesel B30 telah mencangkup berbagai wilayah di Indonesia. Di mana pada tahun2021, terdapat 5.518 SPBU di Indonesia yang menjual Biodiesel B30.
Berdasarkan data Pertamina, realisasi okupansi tahun 2020 sebesar 89%. H. 7.14 juta KL dari alokasi 8.02 juta KL. Pada tahun 2021, sesuai Keputusan Menteri ESDM 252/2020, Pertamina mendapat alokasi 7.81 juta KL untuk konsumsi biosolar/FAME, sedangkan pada Mei 2021 konsumsi FAME mencapai 2.96 juta KL
Sesuai dengan kebijakan dari penerapan wajib biodiesel, Pertamina menyalurkan 13,3 juta KL biodiesel bersubsidi pada 2020, sedangkan Pertamina menyalurkan 5,3 juta KL pada 2021 antara Januari hingga Mei.
Di akhir, secara keseluruhan, biosolar adalah salah satu alternatif bahan bakar yang dapat membantu mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang semakin langka dan mahal, serta membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dan polusi udara. Meskipun masih menghadapi beberapa tantangan seperti biaya produksi yang tinggi, keterbatasan bahan baku, kendala teknologi, tantangan regulasi, dan tantangan infrastruktur, namun penggunaan biosolar terus berkembang dan menjadi lebih populer di beberapa negara. Upaya kolaborasi antara pemerintah, industri, dan akademisi dalam pengembangan teknologi produksi biosolar yang lebih efisien dan murah, peningkatan pasokan bahan baku, serta pembangunan infrastruktur yang memadai diperlukan untuk mempercepat pengembangan biosolar dan meningkatkan keberlanjutan energi di masa depan.
Ikuti Sosial Media Kami One Solution Pertamina
Linkedin : Pertamina 1 Solution
Instagram : Pertamina1solution
Facebook : Pertamina1solution